Sastra Terjemahan: Sebuah
Jembatan Antarbudaya
Oleh Asep Gunawan
Menerjemahkan
karya sastra nyatanya bukanlah perkara gampang. Banyak hal yang perlu ditinjau
dari kompleksitas teks yang terlahir dari bahasa dan budaya berbeda.
Menerjemahkan bukan hanya tentang mengalihkan suatu bahasa ke dalam bahasa
lain, tapi di dalamnya ada upaya menghubungkan antara konteks pengarang dengan
keadaan sosial- budaya pembacanya. Dalam
hal ini tentu saja seorang penerjemah harus bisa menempatkan diri di antara dua
kultur berbeda: kultur pengarang dan kultur pembaca.
Perbedaan kultur itu kadang menjadi
kendala khusus bagi penerjemah dalam menafsirkan apa yang digambarkan pengarang
dalam teksnya. Setiap tafsiran penerjemah haruslah berdasarkan pada pembacaan
dekat (close reading). Terkadang banyak kosa-kata yang mengacu pada kultur
kehidupan pengarangnya sendiri yang tak ditemui padanannya ketika
dikontekstualisasikan dengan bahasa keduanya.
Upaya penerjemahan karya sastra
memang penting adanya. Disadari atau tidak, penerjemahan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia atau pun sebaliknya menjadi jembatan penghubung antara
dua kebudayaan berbeda. Penerjemahan menjadi medium di mana pembaca bisa
mengenali budaya luar melalui karya sastranya. Upaya ini dilakukan tentu saja dalam
rangka saling tukar budaya yang bisa menjadikan karya sastra luar sebagai bahan
pembelajaran untuk menaikkan kualitas karya sastra nasional.
Jika kita kembali melihat ke
belakang, penerjemahan sastra ini sudah gencar dilakukan oleh banyak sastrawan
besar Indonesia, semisal HB Jassin, Chairil Anwar, Pramoedia Ananta Toer, dll. Ini membuktikan bahwa sebagai bangsa, kita
mempunyai rasa ingin tahu yang kuat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan
dan pengalaman bangsa lain. Kita menyadari bahwa dalam zaman komunikasi yang
semakin laju ini, tidak ada manfaatnya sama sekali untuk menutup diri dengan
hanya mengagumi dan melestarikan kebudayaan dan pengalaman diri sendiri. Untuk
bisa bergaul dengan bangsa lain dengan lebih percaya diri, kita perlu mengenal
kebudayaan dan pengalamannya. Dan dalam hal ini, sastra adalah semacam jalan
pintas.
Menduniakan Sastra Nasional
Sebagai
bagian dari sastra dunia, sastra Indonesia sudah selayaknya masuk ke dalam
barisan sastra yang dikenali bangsa lain. Upaya yang paling memungkinkan dan
efektif adalah dengan menerjemahkan sastra nasional kita ke dalam bahasa-bahasa
yang banyak dikenal, terutama bahasa Inggris. Penerjemahan sastra nasional ke
dalam bahasa internasional menjadi begitu penting, terutama bagi Indonesia
sebagai bangsa ketiga yang kadang dipandang sebelah mata. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Ketua Akademi Swedia, Peter Englund yang
menganggap bahwa selama ini penghargaan terhadap karya sastra itu terlalu eurosentris,
hingga terkadang melupakan karya-karya dari dunia ketiga. Upaya Englund pun
cukup berhasil, terbukti dalam beberapa dekade terakhir nama-nama peraih nobel
sastra dari dunia timur pun mulai bermunculan ke permukaan. Yang paling hangat
mungkin pada tahun 2012 ini, nobel sastra berhasil diraih Mo Yan yang notabene berkewarganegaraan Cina.
Jika kita melihat profil sekilas
tentang Mo Yan, nyatanya dia bukan pengarang yang menulis langsung dengan
menggunakan bahasa Inggris. Memang tema-tema yang diungkapkan oleh pengarang
beraliran ‘ realisme halusionis’ ini menarik, karena banyak mengungkapkan
ceritanya melalui pencampuran realitas dan fantasi, perspektif sejarah dan sosial,
namun tentu saja semua itu takkan dibaca dunia luar jika tanpa peran para penerjemah
di balik karya-karyanya. Penerjemahnyalah yang berhasil mengantarkan
karya-karya Mo Yan ke gelanggang sastra dunia dan menjadi begitu diperhitungkan,
hingga bisa meraih nobel paling bergengsi itu.
Bagaimana
dengan sastra Indonesia? Yang paling monumental dari sastra Indonesia mungkin
hanya karya-karya Pramoedia Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam
kurang-lebih 40 bahasa di dunia. Selepas itu, rasanya sastra kita belum bisa
dikenal lagi oleh dunia luar. Namun akhir-akhir ini upaya menduniakan sastra
Indonesia itu mulai kembali menggeliat. Beberapa waktu lalu, Yayasan Lontar
berhasil menerjemahkan beberapa karya sastra Indonesia ke dalam Bahasa Inggris,
semisal Never the Twain (Salah
Asuhan) karya Abdoel Moeis, Shackles
(Belenggu) karya Armijn Pané, The Fall
and the Heart (Kejatuhan dan Hati) karya S. Rukiah, Mirah of Banda (Mirah dari Banda) karya Hanna Rambé, Family Room (kumpulan cerpen) karya
Lily Yulianti Farid, And the War is Over
(Dan Perang pun Usai) karya Ismail Marahimin, The Pilgrim (Ziarah) karya Iwan Simatupang, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Telegram
karya Putu Wijaya, dan Supernova
karya Dewi Lestari.
Selain itu upaya penerjemahan itu pun nyatanya
memang serius. Pada tahun 2012 ini didirikanlah sebuah lembaga yang menaungi
penerjemahan sastra yang bernama ‘Inisiatif: Penerjemahan Sastra’. Lembaga ini
kedepannya akan berperan aktif dalam usaha menerjemahkan sastra asing ke dalam
bahasa Indonesia atau pun sebaliknya, yang tentu saja dengan kualitas
terjemahan yang baik dan mumpuni.
Hal
ini tentu saja merupakan bagian dari —
jika meminjam istilah Sapardi—
pergaulan
antarbangsa yang di mana kita disarankan
untuk "memberi dan menerima". Tentu saja dalam usaha bergaul itu,
kita tidak hanya harus menerima; kita juga harus memberi. Melalui penerjemahan
karya sastra kita ke dalam bahasa lain —khususnya
bahasa Inggris— kita tentu
saja telah ikut serta dalam memberikan sumbangsih tentang gambaran dunia kita
kepada bangsa lain, sehingga kedepannya eksistensi kesusastraan kita pun
tentunya akan diperhitungkan. (Dimuat di rubrik ‘Khazanah’ Pikiran Rakyat).
tuzla lg klima servisi
BalasHapustuzla alarko carrier klima servisi
tuzla daikin klima servisi
ataşehir toshiba klima servisi
tuzla arçelik klima servisi
çekmeköy samsung klima servisi
ataşehir samsung klima servisi
çekmeköy mitsubishi klima servisi
ataşehir mitsubishi klima servisi