Senin, 05 November 2012

Tentang Sastra Terjemahan



 Sastra Terjemahan: Sebuah Jembatan Antarbudaya
Oleh Asep Gunawan

            Menerjemahkan karya sastra nyatanya bukanlah perkara gampang. Banyak hal yang perlu ditinjau dari kompleksitas teks yang terlahir dari bahasa dan budaya berbeda. Menerjemahkan bukan hanya tentang mengalihkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain, tapi di dalamnya ada upaya menghubungkan antara konteks pengarang dengan keadaan sosial- budaya pembacanya.  Dalam hal ini tentu saja seorang penerjemah harus bisa menempatkan diri di antara dua kultur berbeda: kultur pengarang dan kultur pembaca.  
            Perbedaan kultur itu kadang menjadi kendala khusus bagi penerjemah dalam menafsirkan apa yang digambarkan pengarang dalam teksnya. Setiap tafsiran penerjemah haruslah berdasarkan pada pembacaan dekat (close reading). Terkadang banyak kosa-kata yang mengacu pada kultur kehidupan pengarangnya sendiri yang tak ditemui padanannya ketika dikontekstualisasikan dengan bahasa keduanya.
            Upaya penerjemahan karya sastra memang penting adanya. Disadari atau tidak, penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia atau pun sebaliknya menjadi jembatan penghubung antara dua kebudayaan berbeda. Penerjemahan menjadi medium di mana pembaca bisa mengenali budaya luar melalui karya sastranya. Upaya ini dilakukan tentu saja dalam rangka saling tukar budaya yang bisa menjadikan karya sastra luar sebagai bahan pembelajaran untuk menaikkan kualitas karya sastra nasional.
            Jika kita kembali melihat ke belakang, penerjemahan sastra ini sudah gencar dilakukan oleh banyak sastrawan besar Indonesia, semisal HB Jassin, Chairil Anwar, Pramoedia Ananta Toer, dll.  Ini membuktikan bahwa sebagai bangsa, kita mempunyai rasa ingin tahu yang kuat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan dan pengalaman bangsa lain. Kita menyadari bahwa dalam zaman komunikasi yang semakin laju ini, tidak ada manfaatnya sama sekali untuk menutup diri dengan hanya mengagumi dan melestarikan kebudayaan dan pengalaman diri sendiri. Untuk bisa bergaul dengan bangsa lain dengan lebih percaya diri, kita perlu mengenal kebudayaan dan pengalamannya. Dan dalam hal ini, sastra adalah semacam jalan pintas.

Menduniakan Sastra Nasional
            Sebagai bagian dari sastra dunia, sastra Indonesia sudah selayaknya masuk ke dalam barisan sastra yang dikenali bangsa lain. Upaya yang paling memungkinkan dan efektif adalah dengan menerjemahkan sastra nasional kita ke dalam bahasa-bahasa yang banyak dikenal, terutama bahasa Inggris. Penerjemahan sastra nasional ke dalam bahasa internasional menjadi begitu penting, terutama bagi Indonesia sebagai bangsa ketiga yang kadang dipandang sebelah mata. Hal ini diperkuat dengan pernyataan  Ketua Akademi Swedia, Peter Englund yang menganggap bahwa selama ini penghargaan terhadap karya sastra itu terlalu eurosentris, hingga terkadang melupakan karya-karya dari dunia ketiga. Upaya Englund pun cukup berhasil, terbukti dalam beberapa dekade terakhir nama-nama peraih nobel sastra dari dunia timur pun mulai bermunculan ke permukaan. Yang paling hangat mungkin pada tahun 2012 ini, nobel sastra berhasil diraih  Mo Yan yang notabene berkewarganegaraan Cina.
            Jika kita melihat profil sekilas tentang Mo Yan, nyatanya dia bukan pengarang yang menulis langsung dengan menggunakan bahasa Inggris. Memang tema-tema yang diungkapkan oleh pengarang beraliran ‘ realisme halusionis’ ini menarik, karena banyak mengungkapkan ceritanya melalui pencampuran realitas dan fantasi, perspektif sejarah dan sosial, namun tentu saja semua itu takkan dibaca dunia luar jika tanpa peran para penerjemah di balik karya-karyanya. Penerjemahnyalah yang berhasil mengantarkan karya-karya Mo Yan ke gelanggang sastra dunia dan menjadi begitu diperhitungkan, hingga bisa meraih nobel paling bergengsi itu.
            Bagaimana dengan sastra Indonesia? Yang paling monumental dari sastra Indonesia mungkin hanya karya-karya Pramoedia Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam kurang-lebih 40 bahasa di dunia. Selepas itu, rasanya sastra kita belum bisa dikenal lagi oleh dunia luar. Namun akhir-akhir ini upaya menduniakan sastra Indonesia itu mulai kembali menggeliat. Beberapa waktu lalu, Yayasan Lontar berhasil menerjemahkan beberapa karya sastra Indonesia ke dalam Bahasa Inggris, semisal Never the Twain (Salah Asuhan) karya Abdoel Moeis, Shackles (Belenggu) karya Armijn Pané, The Fall and the Heart (Kejatuhan dan Hati) karya S. Rukiah, Mirah of Banda (Mirah dari Banda) karya Hanna Rambé, Family Room (kumpulan cerpen) karya Lily Yulianti Farid, And the War is Over (Dan Perang pun Usai) karya Ismail Marahimin, The Pilgrim (Ziarah) karya Iwan Simatupang, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Telegram karya Putu Wijaya, dan Supernova karya Dewi Lestari.
             Selain itu upaya penerjemahan itu pun nyatanya memang serius. Pada tahun 2012 ini didirikanlah sebuah lembaga yang menaungi penerjemahan sastra yang bernama ‘Inisiatif: Penerjemahan Sastra’. Lembaga ini kedepannya akan berperan aktif dalam usaha menerjemahkan sastra asing ke dalam bahasa Indonesia atau pun sebaliknya, yang tentu saja dengan kualitas terjemahan yang baik dan mumpuni.
            Hal ini tentu saja merupakan bagian dari jika meminjam istilah Sapardi pergaulan antarbangsa  yang di mana kita disarankan untuk "memberi dan menerima". Tentu saja dalam usaha bergaul itu, kita tidak hanya harus menerima; kita juga harus memberi. Melalui penerjemahan karya sastra kita ke dalam bahasa lain khususnya bahasa Inggris kita tentu saja telah ikut serta dalam memberikan sumbangsih tentang gambaran dunia kita kepada bangsa lain, sehingga kedepannya eksistensi kesusastraan kita pun tentunya akan diperhitungkan. (Dimuat di rubrik ‘Khazanah’ Pikiran Rakyat).

1 komentar: